Rangkaian peristiwa bencana yang terjadi belakangan ini telah menjadi pelajaran yang berharga. Belum selesai dari proses penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa bumi Lombok dan gempa bumi yang diikuti tsunami di Palu Donggala, kini kita diuji untuk menghadapi bencana non-alam Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang secara resmi telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ragam bentuk bencana yang terjadi tentu harus menjadi refleksi bersama. Hal ini penting mengingat kejadian bencana masih menunjukkan jumlah yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diketahui bahwa dari 1 Januari hingga 8 Juni 2020 tercatat sebanyak 1.445 kejadian bencana. Dari total tersebut, didominasi oleh kejadian bencana alam berupa bencana banjir, puting beliung, dan tanah longsor. Dampak bencana alam telah menyebabkan 190 jiwa meninggal dunia, 8 hilang, 266 luka-luka, dan 2.170.286 menderita dan mengungsi. Dampak lainnya telah menyebabkan kerusakan sebanyak 18.645 rumah dan 802 fasilitas umum. Selain bencana alam, pada tanggal 14 April 2020 pemerintah menetapkan bencana non-alam Covid-19 sebagai bencana nasional. Hingga (8/6/2020) tercatat 32.033 kasus positif, 1.883 meninggal dunia, dan 10.904 sembuh.
Data di atas telah menginformasi bahwa bencana telah berdampak secara destruktif terhadap aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, bencana bukan hanya dilihat sebagai bagian dari realitas alam, tetapi sekaligus menjadi fenomena sosial. Dimana gejalanya begitu kompleks, sehingga dapat memicu terjadinya perubahan sosial yang tidak direncanakan. Lebih jauh, kompleksitas permasalahan yang terjadi pasca bencana telah mencerminkan masih rendahnya pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk mengantisipasi, mengatasi, dan memulihkan diri dari dampak bencana.
Ketidaksiapan masyarakat menghadapi bencana pada gilirannya dapat menjadi ancaman bagi pembangunan. Sebab dalam konteks bencana, mereka adalah pihak pertama yang menjadi rentan terhadap efek dari kejadian berbahaya tersebut. Ketidakberdayaan ini dapat terjadi jika pengetahuan dan kelembagaan lokal tidak didayagunakan. Artinya, praktik dan kajian penanggulangan bencana dalam upaya penguatan kapasitas untuk pengurangan risiko bencana di masyarakat selama ini masih belum terbangun dengan baik.
Di sisi lain, rendahnya kesadaran umum masyarakat tentang bencana telah menjadi problematika yang belum terselesaikan. Meskipun faktanya bahwa masyarakat tertentu memiliki pengetahuan lokal tentang prediksi bencana dan mekanisme penanggulangannya. Namun, segala potensi dan sumber daya yang ada tersebut sering kali belum terlembaga dengan baik. Padahal kedepannya segala bentuk upaya pengurangan risiko bencana sudah barang tentu harus menjadi agenda prioritas. Untuk itu, peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat guna memperkuat ketahanan terhadap bencana adalah suatu kebutuhan mendesak. Dengan demikian, setiap wilayah kemudian dituntut untuk memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana.
Dalam konteks level daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah kepemimpinan Dr. H. Zulkieflimansyah, M.Sc dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd mengusung tagline NTB Gemilang melalui misi “NTB Tangguh dan Mantap”. Artinya bahwa upaya mitigasi bencana, pemerataan infrastruktur, dan konektivitas wilayah telah menjadi komitmen prioritas pembangunan di NTB.
Berbagai pengalaman menghadapi peristiwa bencana yang dialami NTB sudah semestinya memberikan pelajaran penting dalam melakukan manajemen bencana. Komponen manajemen bencana harus diintegrasikan ke dalam program-program pembangunan yang berorientasi pada pengurangan dampak bencana. Artinya, upaya melakukan manajemen bencana bukan diterjemahkan sebagai bentuk kegiatan yang formalitas dan birokratis, tetapi harus ditransformasikan melalui aksi nyata dan berkelanjutan.
Guna membangun masyarakat dengan tata kelola dan manajemen bencana yang baik, mereka perlu diberdayakan untuk meningkatkan kapasitas dan mendorong partisipasi dalam meminimalisasi dampak dari bencana. Dalam pengertian ini, masyarakat bukan hanya sekedar dijadikan objek saat terjadi bencana, melainkan mereka juga harus dilibatkan aktif sebagai subyek dalam setiap tahapan manajemen bencana: pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons dan pemulihan.
Dalam konteks sosiologi kebencanaan, pendekatan yang melibatkan masyarakat secara partisipatif merupakan bentuk fundamental dari proses pemberdayaan sehingga masyarakat memiliki kesempatan dalam menyampaikan ide-ide dari bawah ke atas. Sebab, pemerintah tidak akan mampu melakukan manajemen risiko bencana secara optimal tanpa melibatkan peran masyarakat secara aktif. Selain itu, hal yang tidak kalah penting lainnya dalam upaya penanggulangan bencana adalah mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan sumber daya dan kebutuhan lokal mereka.
Lebih jauh, upaya melakukan manajemen bencana yang terencana, sistematis, dan komprehensif perlu ditransformasikan melalui lembaga sosial kemasyarakatan. Keberadaan lembaga sosial kemasyarakatan berperan penting dalam mewadahi tujuan kolektif penanggulangan bencana. Sehingga upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengurangan risiko bencana, maka segala potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat perlu didayagunakan melalui penguatan peran kelembagaan. Di sisi lain, upaya manajemen bencana juga butuh komitmen politik pemerintah agar diakomodasi dalam bentuk kebijakan dan peraturan.
Written by Hendra Puji Saputra