Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak Desember 2019, telah meberikan dampak negatif terhadap kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dialami oleh hampir seluruh negara di belahan dunia tidak terkecuali Indonesia. Wabah Covid-19 berdampak terhadap buruknya kondisi kesehatan masyarakat yang berujung pada kematian, juga dirasakan dampaknya oleh sektor perekonomian. Penerapan lock down oleh banyak negara dalam penanganan Covid-19 dan di Indonesia dikenal dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) menyebabkan banyaknya aktivitas ekonomi masyarakat menjadi terhenti. Banyak perusahaan yang menghentikan operasionalnya dan merumahkan karyawannya, sehingga menyebabkan banyak orang yang kehilangan sumber pendapatannya. Karenanya, perlu dijalankan strategi alternatif dalam penyelamatan sumber-sumber penghidupan masyarakat dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, namun kegiatan ekonomi yang menjadi sumber penghasilan masyarakat tetap berjalan. Usaha budidaya lobster dapat menjadi alternatif usaha ekonomi yang saat ini dapat didorong pertumbuhannya, guna mempertahankan sumber penghidupan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan Covid-19.
Lobster (Panuliris sp) merupakan hewan laut jenis crustacean atau udang yang mempunyai kandungan gizi yang sangat tinggi, sehingga banyak digemari oleh para pencinta seafood. Tingginya permintaan pasar terhadap lobster membuat nelayan melirik bisnis budidaya lobster. Budidaya lobster di Indonesia tergolong baru, mulai dikembangkan di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1995 dan berkembang pada tahun 2000-an. Selanjutnya budidaya lobster berkembang juga di Nangro Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, perkembangan budidaya lobster di Indonesia tergolong sangat lamban, sedangkan Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk mendukung budidaya laut termasuk budidaya lobster.
Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki potensi budidaya laut cukup besar, tersebar di wilayah perairan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Adapun zona pengembangan budidaya lobster meliputi Teluk Jukung, Telong-Elong, Teluk Ekas dan Teluk Awang di Pulau Lombok, sedangkan di Pulau Sumbawa meliputi: Labuhan Bontang, Labangka, Labuhan Pidang, Penabo, Sili, Maci,Mata dan Sape. Penetapan zonasi ini mempertimbangkan kemudahan dari aspek manajemen seperti manajemen benih, manajemen pakan, manajemen kualitas air, kesehatan lobster, manajemen panen, pengangkutan dan pemasaran.
Kawasan Teluk Jukung dan Teluk Jor terletak di daerah peisir Lombok Timur bagian Selatan, termasuk dalam wilayah admisnistratif Desa Pare Mas dan Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur. Kedua kawasan ini merupakan kawasan yang berbatasan dan dalam satu hamparan. Diperkirakan sedikitnya 500 KK yang melakukan aktifitas budidaya lobster di kedua kawasan teluk tersebut dengan jumlah keramba/ KJA sebanyak 750 unit. Jika jumlah lubang/ kolam perunit keramba sebanyak 8 lubang/ kolam, maka total lubang/ kolam adalah sebanyak 6000 buah. Apabila dalam 1 KK terdiri dari 5 orang anggota keluarga, maka secara keseluruhan terdapat sebanyak 2,500 orang yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan budidaya lobster.
Dari pengalaman pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh KONSEPSI NTB didukung oleh Islamic Relief di kawasan tersebut melalui implementasi program “Dukungan Kepada Masyarakat Miskin Untuk Mendapatkan Hak-Haknya Terkait Informasi Iklim”, kegiatan budidaya lobster di kawasan tersebut sudah dimulai sejak tahun 2009. Seperti yang terjadi di daerah lainnya di Indonesia, dalam melakukan budidaya lobster jenis pakan yang digunakan adalah berupa ikan rucah (ikan kecil yang dicacah). Faktor pakan ini diduga sebagai salah satu sebab lambatnya perkembangan budidaya lobster, di samping faktor-faktor alam lainnya seperti arus laut, kedalaman kolam, cuaca dan suhu serta kebersihan kolam. Sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pembesaran lobster sampai dengan lobster bisa dipanen (dipasarkan). Biasanya, sejak benih berukuran 5 jari atau lebih kurang seberat 5 gram ditebar di KJA (Keramba Jaring Apung) sampai dengan layak panen / dipasarkan dengan ukuran 150-200 gram dibutuhkan waktu sekitar 7-8 bulan. Persoalan lain yang dialami oleh pembudidaya, adalah penyakit putih susu (milky white desease) pada lobster dan tingkat kehidupan yang sangat rendah yaitu sekitar 35-50 %.
Belum ada penelitian serius dan mendalam untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kehidupan lobster tersebut. Akan tetapi, hal ini diduga karena faktor pakan yang kurang hygines dan kurang terpeliharanya aspek lingkungan budidaya menyebabkan lobster rentan dengan penyakit putih susu (milky white disease) yang konon belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Di sisi lain, stigma yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, bahwa masyarakat/ nelayan kecil tidak bisa/mampu melakukan budidaya/ pembesaran lobster, sebab di samping teknologi yang rumit biayanya mahal serta butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan uang kembali dari hasil budidaya lobster.
Oleh karena itu, dalam rangka implementasi program KONSEPSI NTB menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi pembudidaya lobster penerima manfaat program. Pada kegiatan sekolah lapang iklim selain diberikan materi tentang pengetahuan perikliman pembudidaya lobster juga diberikan materi tentang budidaya lobster khususnya berkaitan dengan pakan lobster jenis pelet, serta praktik pembuatan pakan pelet lobster. Selanjutnya pembudidaya melalui kelembagaan HIMASPI (Himpunan Masyarakat Siaga Perubahan Iklim), difasilitasi dengan seperangkat demplot budidaya lobster meliputi KJA, benih lobster seperangkat peralatan/ mesin pembuatan pakan pelet sebagai tempat pembelajaran. Melalui demplot anggota HIMASPI melakukan praktik pembuatan pakan, pemeliharaan lobster dengan pemberian pakan pelet, melakukan pengamatan suhu dan arus laut, menjaga kebersihan keramba/ KJA. Sehingga, melalui kegiatan sekolah lapang iklim yang dilanjutkan dengan praktik di demplot yang telah disediakan, pembudidaya lobster mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan kegiatan budidaya lobster.
Penebaran benih pada demplot KJA dilaksanakan pada 1 Februarai 2020, namun aktivitas pembuatan pakan oleh anggota HIMASPI dilakukan sebelum tanggal tersebut guna menjaga ketersediaan pakan pelet bagi lobster, sebab dalam uji coba ini pakan yang akan diberikan kepada lobster 100% merupakan pakan pelet hasil produksi kelompok HIMASPI. Selain pemberian pakan dengan pelet, kebersihan keramba menjadi perhatian demikian juga halnya dengan pengukuran suhu air di keramba. Setelah dilakukan pemeliharaan lobster di keramba selama 190 hari dengan perlakukan disebutkan tadi, pada tanggal 9 Agustus 2020 dilakukan panen yang disaksikan oleh Sekretaris Dinas LHK Provinsi NTB, Direktur KONSEPSI bersama tim manajemen proyek yang lain serta anggota HIMASPI.
Saat penen diperoleh hasil yang cukup memuaskan, karena jauh melampaui hasil produksi lobster yang dipelihara dengan pola tradisional yang dilakukan selama ini yaitu dengan pakan ikan rucah. Dari sejumlah 420 ekor bibit lobster yang ditebar, pada saat panen diperoleh jumlah lobster hidup sebanyak 342 ekor (81,43%). Bobot bibit pada saat tebar sebesar 5 jari atau rata-rata 5 gram, sehingga total berat bibit adalah 2.100 gram, sementara berat panen mencapai 48.845 gram. Adapun jumlah pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan sebanyak 456 kg, sehingga Feed Convertion Ratio (FCR)= 11,68, artinya 1 kg berat daging (lobster) membutuhkan pakan seberat 11,68 kg. Dan dengan harga jual langsung lobster kepada pengepul di keramba seharga Rp200.000 per kg, maka hasil penjualan yang diperoleh sebesar Rp9.769.000 dengan asumsi biaya pakan sebesar Rp7500/kg maka setelah dikurangi biaya pakan hasil yang diperoleh adalah Rp6.349.000,- (65%). Apabila hasi uji coba ini direplikasikan oleh semua pembudidaya lobster di dua kawasan teluk tersebut (Teluk Jukung dan Teluk Jor), dengan asumsi harga lobster per kilogram sebesar Rp200.000, maka potensi uang beredar di kawasan tersebut selama 6 bulan dari budidaya lobster akan mencapai Rp6,720,000,000 per 6 bulan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, diperoleh pembelajaran bahwa komunitas pembudidaya lobster mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam kegiatan budidaya lobster. Apa bila pengetahuan dan keterampilan tersebut diadopsi oleh semua nelayan budidaya lobster yang ada di kawasan sekitarnya, maka akan mendorong peningkatan kesejahteraan pembudidaya dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Dengan demikian akan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut, dan pada gilirannya memberikan kontribusi cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu anggapan yang selama ini berkembang bahwa masyarakat nelayan kecil tidak bisa melakukan budidaya lobster adalah tidak benar, asalkan para pengambil kebijakan di daerah ini mempunyai political will memberikan dukungan melalui pelatihan, perijinan dan kemudahan mengakses permodalan bagi masyarakat nelayan setempat.
Namun persoalan krusial dialami oleh pembudidaya lobster saat ini adalah pemberlakuan Permen KP No.12/2020 yang membolehkan ekspor benih, dan membatalkan Permen KP No.20/2016 sebelumnya yang melarang ekspor benih lobster. Alasan yang dikembang oleh pengambil kebijakan dan invenstor, bahwa kebijakan membuka keran ekspor benih lobster dalam rangka memaksimalkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian bangsa dan masyarakat, sebab masyarakat kecil tidak bisa membudidayakan lobster karena biayanya mahal. Bagi sebagian pembudidaya mungkin kebijakan tersebut menyambutnya dengan gembira dan penuh suka cita, tetapi tidak demikian bagi pembudidaya lobster dikawasan Teluk Jukung maupun Teluk Jor. Justru pembudaya lobster di kawasan itu menyambut Permen KP No.12/2020 tersebut dengan kegalauan. Menurut mereka bahwa dibukanya izin ekspor benih lobster akan mematikan usaha budidaya lobster oleh masyarakat/ nelayan kecil, sebab benih lobster akan habis sehingga masyarakat akan kesulitan mendapatkan benih.
Harapan masyarakat, jika Permen KP No.12/2020 tidak bisa dibatalkan, diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil dengan mengatur zonasi penangkapan banih lobster. Pada kawasan yang ada pembudidayanya agar tidak diizinkan pengambilan benih lobster untuk kepentingan ekspor. Stigma yang selama ini dikembangan bahwa masyarakat kecil tidak bisa membudidayakan lobster karena biaya pakan mahal tidak sepenuhnya benar, asalkan didukung dengan peningkatan keterampilan dan kemudahan akses permodalan dan dibukanya akses pasar lobster baik lokal, regional, nasional maupun pasar eksport. Diharapkan dengan keterbukaan dan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil dalam pengelolaan budidaya lobster, peningkatan kesejahteraan masyarakat kecil khususnya pembudidaya lobster di desa dapat diwujudkan, setidaknya kesulitan ekonomi masyarakat karena wabah Covid-19 sekarang ini mendapatkan solusinya.
*). Wakil Direktur KONSEPSI NTB