Masyarakat pesisir di daerah Taman Ayu menghadapi ancaman nyata banjir rob yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Sedangkan Masyarakat di Desa Dasan Geria hampir setiap tahun juga dihadapkan dengan ancaman banjir bandang. Pada 16-17 Januari 2025, Table Top Exercise (TTX) digelar di Desa Taman Ayu dan Desa Dasan Geria untuk melakukan simulasi dalam rangka kesiapsiagaan dalam merespons peringatan dini bencana ini. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi KONSEPSI NTB dengan OXFAM di Indonesia, ANCP, serta mendapat dukungan dari DFAT melalui Program I CAN-ACT (Improvement Community Anticipatory Action) Fase II.
“Kami mengalami tiga kali pasang air dalam semalam, yang tentu saja membuat warga panik dan cemas,” ujar M. Tajudin, Kepala Desa Taman Ayu. Banjir rob yang terjadi membuktikan bahwa ancaman ini semakin nyata dan perlu mendapat perhatian lebih serius.
Peringatan dini telah dikeluarkan BMKG, yang menyebutkan adanya potensi banjir rob di kawasan pesisir sejak 8 hingga 18 Januari 2025. “Banjir rob sering terjadi saat bulan berada di titik terdekat dengan bumi atau perigee, yang menyebabkan kenaikan pasang lebih tinggi dari biasanya,” jelas Nina dari BMKG dalam pemaparannya.
Dalam simulasi ini, peserta yang terdiri dari pemerintah desa, Tim Siaga Bencana Desa (TSBD), perwakilan kelompok rentan, serta beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dilatih untuk merespons peringatan dini secara cepat dan terkoordinasi. Rizwan Rizkiandi, selaku Program Manajer, menjelaskan bahwa peringatan dini harus didasarkan pada indikator yang jelas, seperti kecepatan angin yang mencapai 16-30 km/jam, tinggi gelombang lebih dari 1,25 meter, serta pasang naik yang melebihi 1,7 meter.
“Kami langsung menyampaikan informasi peringatan dini melalui pengeras suara, media sosial, dan grup WhatsApp TSBD,” ungkap seorang anggota TSBD saat mempraktikkan simulasi. Selain itu, warga juga diberikan pelatihan dalam membangun tanggul sementara menggunakan karung pasir, menyiapkan rencana evakuasi, dan mengamankan dokumen penting dalam tas siaga.
Salah satu tantangan yang muncul dalam simulasi adalah terkait distribusi bantuan bagi masyarakat terdampak. “Setiap kali ada bantuan, pasti muncul perdebatan tentang siapa yang berhak menerimanya,” ujar Mulyadi dari Dinas Sosial. Oleh karena itu, verifikasi data penerima bantuan menjadi aspek krusial dalam respons bencana. Sementara itu, Mohidin, perwakilan penyandang disabilitas, menyoroti pentingnya pendampingan khusus bagi kelompok rentan saat evakuasi. “Kami memerlukan arahan yang jelas karena sering kali saat panik, orang-orang berlarian tanpa memperhatikan kami,” katanya.
Simulasi ini menunjukkan bahwa koordinasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi kemanusiaan sangat menentukan efektivitas respons terhadap bencana. “Kami berharap kegiatan seperti ini tidak hanya dilakukan di desa kami, tetapi juga di wilayah pesisir lain,” ujar seorang peserta dari Desa Dasan Geria.
Ke depan, kegiatan serupa diharapkan dapat diperluas guna memperkuat sistem peringatan dini dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dengan langkah-langkah konkret dan keterlibatan aktif seluruh pihak, diharapkan warga pesisir dapat lebih tangguh menghadapi ancaman banjir rob yang semakin sering terjadi.