Menjaga Indonesia dengan Mengelola Risiko Bencana

Menjaga Indonesia dengan Mengelola Risiko Bencana

Praktisi Kebencanaan dan Lingkungan KONSEPSI NTB Hendra P. Saputra (Dok Hendra P. Saputra)
Praktisi Kebencanaan dan Lingkungan KONSEPSI NTB Hendra P. Saputra (Dok Hendra P. Saputra)

Mataram (ANTARA) – Ketika mengawali tulisan ini, saya teringat ungkapan menarik yang pernah disampaikan Letjen (Purn) Doni Monardo: “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita”. Ungkapan itu bukan sekedar slogan, tetapi cerminan filosofi tentang relasi manusia dan alam sebagai sebuah keniscayaan. Dalam banyak kesempatan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) periode 2019-2021 itu juga kerap kali mengingatkan para pegiat kebencanaan bahwa “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Pesan sederhana namun sarat makna tersebut mengajak kita untuk merenung kembali sebagai bangsa yang hidup di tengah risiko bencana.

Saya rasa, peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana pada tanggal 26 April adalah momentum untuk merefleksikan kembali pesan tersebut dan sekaligus menakar sejauhmana ketangguhan Indonesia menghadapi bencana. Begitu juga kesiapsiagaan bencana perlu kita maknai sebagai panggilan kesadaran kolektif menuju ketangguhan bangsa. Kesadaran kolektif itu tidak terbentuk begitu saja, tetapi dibangun dari pengalaman panjang Indonesia menghadapi bencana. Dari semua pengalaman itu, kejadian bencana sering kali menyisakan luka kemanusiaan yang mendalam.

Di tahun 2024, misalnya, data BNPB mencatat ada 3.472 kejadian bencana di Indonesia. Dari total tersebut, sebanyak 540 jiwa meninggal dunia, 11.531 orang luka-luka, dan lebih dari 8 juta warga menderita dan mengungsi (bnpb.go.id, 2024). Angka-angka tersebut bukan sekadar data statistik. Di baliknya tercermin wajah-wajah warga di tepi sungai yang rumahnya hanyut diterjang banjir, para petani yang panennya gagal karena kekeringan berkepanjangan, para nelayan yang tidak bisa melaut karena cuaca ekstrem, serta anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas yang sulit menyelamatkan diri ketika terjadi gempa. Ternyata, bencana yang datang tidak hanya menguji sistem ketangguhan kita, tetapi juga mengoyak daya tahan sosial, ekonomi, infrastruktur, dan menciptakan pribadi-pribadi yang traumatis.

Kesiapsiagaan adalah Keniscayaan

Kesiapsiagaan bencana bukanlah jargon tanpa makna. Kesiapsiagaan bencana juga bukan tanggung jawab terbatas pada instansi tertentu dengan mengabaikan peran pihak lain. Lebih dari itu, kesiapsiagaan adalah bagian dari praktik kehidupan sehari-hari – yang menyoal cara kita memahami risiko bencana di sekitar, merespons ancaman bencana secara tepat, dan membangun ketangguhan secara menyeluruh mulai dari tingkat individu hingga sistem nasional.

Dalam pendekatan manajemen bencana, kejadian bencana tidak pernah benar-benar “alami.” Gempa bumi, misalnya, meskipun gejala alam, tapi yang membuatnya menjadi bencana adalah ketika rumah dan fasilitas umum yang dibangun rapuh, jalur evakuasi tidak memadai, atau kapasitas masyarakat untuk menyelamatkan diri lemah. Maka kesiapsiagaan adalah tentang mengurangi kerentanan dan membangun kapasitas. Pengembangan kapasitas ini tidak bisa dilakukan secara sporadis. Sebab membentuk warga negara yang sadar risiko dan mampu bertindak saat krisis datang butuh strategi dan perencanaan jangka panjang.

Oleh karena itu, kesiapsiagaan bencana harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan pembangunan. Banyak kerugian dalam bencana sebenarnya bisa dicegah jika risiko sudah diperhitungkan sejak awal untuk diintegrasikan ke dalam perencanaan wilayah, pembangunan infrastruktur, hingga pengelolaan lingkungan. Ketika aspek kebencanaan diabaikan, pembangunan justru menciptakan kerentanan baru. Inilah yang membuat kesiapsiagaan tidak bisa dipisahkan dari strategi pembangunan jangka panjang: di mana kesiapsiagaan harus terintegrasi di dalam dokumen kebijakan, menyatu dalam tata kelola, dan hadir dalam keputusan-keputusan sehari-hari.

Tantangan Kesiapsiagaan Bencana

Upaya membangun kesiapsiagaan bencana bukan persoalan mudah. Salah satu tantangan yang masih mengakar terletak pada tarik-menarik antara pendekatan politik dan pendekatan teknokratik dalam perumusan kebijakan pembangunan. Dalam praktiknya, pendekatan politik sering kali lebih dominan, karena pemangku kebijakan cenderung menyusun program berdasarkan kepentingan elektoral atau janji politik saat kampanye. Program-program yang bersifat populis lebih diprioritaskan, sementara isu seperti pengurangan risiko bencana yang dampaknya tidak langsung terasa sering kali tersisih dari agenda utama. Padahal, integrasi mitigasi bencana dalam perencanaan pembangunan sangat krusial untuk memastikan bahwa kesiapsiagaan menjadi bagian dari arah pembangunan daerah secara sistemik dan berkelanjutan.

Namun, tantangannya menjadi tidak sederhana ketika dikaitkan dengan keterbatasan kapasitas fiskal daerah. Kemampuan keuangan pemerintah daerah sangat beragam, tergantung pada struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana transfer pusat, dan faktor-faktor ekonomi lokal lainnya. Dalam situasi keuangan yang terbatas, pemerintah daerah dihadapkan pada dilema antara memenuhi berbagai kebutuhan mendesak, seperti infrastruktur dasar, layanan kesehatan, dan pendidikan atau mengalokasikan anggaran untuk program mitigasi yang sering kali dianggap “tidak seksi.” Akibatnya, program kesiapsiagaan bencana kerap diposisikan sebagai prioritas sekunder yang bergantung pada ketersediaan sisa anggaran.

Selain faktor anggaran, struktur kelembagaan dan kapasitas birokrasi di daerah juga mempengaruhi efektivitas integrasi kebijakan kebencanaan. Tidak semua daerah memiliki tenaga perencana yang memahami isu risiko bencana secara komprehensif sehingga pendekatan teknokratik sulit berkembang. Dalam kondisi ini, ketika pendekatan politik lebih dominan, ada risiko bahwa isu-isu penting seperti penguatan sistem peringatan dini, edukasi publik, dan tata ruang berbasis risiko bencana tidak mendapat porsi yang layak dalam perencanaan pembangunan maupun dalam implementasi APBD. Karena itu, membangun kesiapsiagaan bencana tidak cukup hanya dengan pendekatan teknis, tapi juga menuntut keberpihakan politik yang konsisten serta mekanisme kebijakan yang mampu menjembatani antara kebutuhan jangka pendek dan perlindungan jangka panjang.

Perlunya Kolaborasi

Menjaga Indonesia dengan mengelola risiko bencana adalah cara untuk mencintai dan merawat tali kebangsaan dari lapisan terdalam nilai-nilai kemanusiaan. Sejatinya, itu semua membutuhkan komitmen dan kolaborasi semua pihak: pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, hingga masyarakat. Pada konteks inilah, kesiapsiagaan harus menjadi agenda lintas sektor dan lintas kepentingan, bukan hanya tugas BPBD. Dengan demikian, setiap pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan isu kebencanaan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional hingga daerah. Ini penting karena kita sadar betapa rawannya negeri ini terhadap bencana, maka kita dituntut untuk lebih siap, lebih waspada, dan lebih terorganisir. Sebab kesiapsiagaan bukan sekadar kesiapan fisik, tetapi juga kesiapan sosial, institusional, ekonomi, budaya, dan politik. Semua proses itu perlu dibangun dari kesadaran, kolaborasi, dan konsistensi. Semoga.

*) Penulis adalah Praktisi Kebencanaan dan Lingkungan KONSEPSI NTB dan Alumnus Magister Sosiologi FISIP Universitas Indonesia

Bagikan Tulisan ini:

Berikan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat Berita lainnya

Berlangganan Berita Kami

Jangan lewatkan Update Kegiatan-kegiatan terbaru dari Kami

Having Computer issues?

Get Free Diagnostic and Estimate From Computer Specialist!