Wabah Corona Virus Disease (Covid-19) semakin meluas, baik secara global dan nasional. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (11/3/2020) secara resmi menyatakan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Hal itu didasarkan karena begitu cepat dan masifnya penyebaran virus ini ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri kasus orang yang terpapar pandemi Covid-19 setiap hari meningkat secara signifikan. Data pada hari Rabu (01/04/2020) menunjukkan bahwa sebanyak 1.677 orang dinyatakan positif Covid-19, sebanyak 157 orang meninggal dunia, dan 103 orang dinyatakan sembuh (www.covid19.go.id). Adanya peningkatan data secara eksponensial tersebut telah menjadi indikasi bahwa pandemi Covid-19 tidak bisa disikapi secara permisif. Apalagi pandemi Covid-19 kini sudah menyebar di 32 provinsi dari total 34 provinsi di Indonesia. Sehingga perlu dilakukan langkah sistematis, terukur, dan komprehensif dalam aspek penanganannya.
Dalam konteks level daerah, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. H. Zulkieflimansyah, M.Sc telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 306-298 Tahun 2020 tentang Status Siaga Darurat Bencana Non-Alam Corona Virus Disease atau Covid-19 di Provinsi NTB. Pemberlakuan Status Siaga Darurat Bencana Non-Alam Covid-19 tersebut ditetapkan sampai 31 Agustus 2020.
Hingga hari Rabu (01/04/2020) kasus orang yang dinyatakan positif Covid-19 di NTB sebanyak 6 kasus, total Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 62 kasus, dan total Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 1.362 kasus (www.corona.ntbprov.go.id). Dalam perkembangannya, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTB yang meliputi aspek kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan kebijakan dampak sosial ekonomi masyarakat sebagai respon atas pandemi Covid-19 di NTB.
Kepanikan Masyarakat
Setelah Gubernur NTB menggelar konferensi pers pada Selasa (24/3/2020) dan menyatakan kasus pertama positif Covid-19 di NTB, muncul kepanikan massal di hampir semua kalangan masyarakat. Kepanikan massal kemudian ditandai dengan aksi sporadis pemborongan masker, hand sanitizer, dan Alat Pelindung Diri (APD) lainnya yang belakangan ini ketersediaannya sangat langka di sertai dengan harganya yang cukup tinggi mengingat banyaknya masyarakat yang membutuhkan.
Munculnya kepanikan di tengah masyarakat tidak terlepas dari framing media massa yang secara sensasional memberikan pemberitaan secara masif tentang penyebaran wabah Covid-19 di masyarakat. Dalam konteks merebaknya wabah Covid-19, media massa semakin menonjolkan sisi eksploitatif dalam bentuk komodifikasi melalui narasi-narasi dari berita yang ditampilkan. Pada kondisi inilah kemudian masyarakat yang secara terus-menerus mengkonsumsi pemberitaan pandemi Covid-19 melalui media massa akan memunculkan efek sosial berupa kepanikan moral di tengah masyarakat.
Menurut Stanley Cohen dalam bukunya Folk Devils and Moral Panics menjelaskan bahwa media massa adalah sumber utama pengetahuan masyarakat yang memainkan peranan penting dalam menciptakan drama kepanikan moral di masyarakat. Kepanikan moral oleh Cohen dianggap sebagai kondisi ketakutan atas kehadiran seseorang atau sekelompok orang yang didefinisikan sebagai ancaman terhadap tatanan nilai dan kepentingan masyarakat, yang kemudian dipresentasikan melalui media massa.
Konten pemberitaan terkait pandemi Covid-19 dikonstruksi secara sensasional oleh media massa dengan tujuan untuk mendapat perhatian publik sehingga pada gilirannya menyebabkan perubahan kognitif, sistem kepercayaan, dan sikap khalayak. Akibatnya, informasi mengenai wabah Covid-19 yang diterima oleh masyarakat tanpa melihat kebenaran informasi tersebut akan menyebabkan kepanikan masyarakat secara berlebihan.
Oleh karena itu, dalam situasi yang mana sikap curiga, prasangka, dan kecemburuan sosial sangat mudah untuk di mobilisir, maka upaya sosialisasi di berbagai lini harus berpatokan pada semangat dan aksi gotong-royong serta sikap dan tindakan empatik.
Perlunya Modal Sosial
Di tengah situasi masyarakat yang tidak normal seperti ini, ketahanan sosial akan menjadi pilar penting dalam menghadapi pandemi Covid-19. Karena itu, berbagai upaya teknis mengatasi pandemi Covid-19 juga harus didukung dengan penguatan modal sosial. Putnam (1983), menjelaskan modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Guna memelihara kohesi sosial di tengah pandemi Covid-19, solidaritas sosial berperan sangat penting dalam menjaga kohesi antarwarga dan menjadi alat kontrol sosial. Selain itu, nilai-nilai altruisme yang tumbuh dan berkembang selama ini di masyarakat harus di hidupkan kembali sebagai modal sosial yang dapat memperkuat kohesi sosial masyarakat. Bila modal sosial mampu digerakkan dan diperkuat bukan tidak mungkin jaring pengaman sosial untuk lapisan masyarakat sampai ke level bawah di saat menghadapi pandemi Covid-19 dapat diupayakan dengan optimal. Tentu solidaritas publik juga sangat dibutuhkan.Sebagai bangsa besar yang memiliki solidaritas dengan berbagai pengalaman mengatasi bencana di masa lalu, tentu dengan menumbuhkan modal sosial dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 perlu dilakAukan. Sudah semestinya kita belajar dari penanganan bencana Tsunami Aceh, Gempa Yogyakarta, Gempa Lombok, dan wabah demam berdarah sebagai pelajaran penting dalam membangun aksi solidaritas dan persatuan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Dengan demikian, setiap warga negara juga harus memiliki kesadaran, kepedulian, dan kepercayaan baik kepada pemerintah maupun antar masyarakat guna mendukung keberhasilan dalam mengatasi pandemi Covid-19 dengan menumbuhkan modal sosial yang kuat. Dengan momentum pandemik ini, fikiran, sikap, dan tindakan sekretarian harus dicegah dengan berbagai cara supaya tidak direproduksi secara terus-menerus. Sebab berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 juga secara simultan harus didukung dengan modal sosial yang di miliki oleh masyarakat itu sendiri.
Written by: Hendra Puji Saputra