Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyatakan bahwa terdapat 50.000 desa di Indonesia yang berpotensi terjadi bencana. Data tersebut didasarkan pada peta potensi bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut tentu tidak terlepas karena Indonesia memiliki kondisi geologis, geografis, hidrologis, demografis, dan sosiologis yang menjadikannya sangat rentan akan terjadinya bencana.
Sejalan dengan hal itu, data BNPB mencatat sebanyak 455 kejadian bencana di Indonesia menurut rekapitulasi data sejak 1 Januari hingga 10 Februari 2020. Bencana yang terjadi didominasi oleh jenis bencana hidrometeorologi yaitu: banjir 171 kejadian, puting beliung 155 kejadian, tanah longsor 98 kejadian, dan gelombang pasang/abrasi sebanyak 2 kejadian. Distribusi jenis kejadian bencana selain hidrometeorologi yaitu kebakaran hutan dan lahan 28 kejadian dan gempa bumi 1 kejadian.
Dari total kejadian bencana tersebut, BNPB mencatat jumlah korban meninggal dunia mencapai 94 jiwa, hilang 2 jiwa, luka-luka 83 jiwa dan penduduk yang mengungsi mencapai 994.932 jiwa. Selain berdampak pada korban jiwa, kejadian bencana juga mengakibatkan kerusakan infrastuktur dengan rincian sebanyak 2.512 rumah rusak berat, 1.725 rumah rusak sedang, dan 6.707 rumah rusak ringan. Kemudian untuk fasilitas umum yang mengalami kerusakan mencapai 321 unit meliputi: 142 fasilitas pendidikan, 121 fasilitas ibadah, 47 perkantoran, dan 11 fasilitas kesehatan.
Data di atas menginformasikan bahwa persoalan bencana tidak bisa disikapi secara permisif, melainkan perlu disusun langkah sistematis dan terintegrasi. Namun, harus diakui bahwa selama ini bencana selalu dianggap sebagai sesuatu di luar kendali manusia. Karena itu, faktor alam selalu dianggap menjadi penyebab utama dari semua bencana yang terjadi. Padahal sebenarnya bencana juga dapat terjadi karena kegagalan dalam merancang perencanaan dan kebijakan pembangunan ke dalam agenda-agenda pengurangan risiko bencana.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ulrich Beck (1992) seorang sosiolog Jerman dalam teorinya tentang masyarakat beresiko (risk society) menjelaskan bahwa dalam era modernitas lanjut telah melekat risiko-risiko masa depan yang tidak dapat terprediksi dan tidak bisa diantisipasi. Menurut Beck, kegiatan dan praktik masyarakat modern lanjut telah menghasilkan konsekuensi-konsekuensi ‘buruk’ terhadap lingkungan yang tidak terbatas, seperti: banjir, longsor, polusi udara, dan pemanasan global. Kerusakan-kerusakan ini menjadi risiko ekologis yang ditanggung oleh masyarakat tidak hanya dalam level lokal dan nasional namun juga global. Dengan kata lain, masyarakat beresiko bukanlah ‘takdir’ atau ‘musibah’ dari Tuhan, namun justru konsekuensi dari praktik dan keserakahan manusia itu sendiri.
Kendati demikian, kondisi masyarakat yang sangat rentan terhadap ancaman bencana memang tidak bisa dihindari, namun dapat diupayakan untuk mengurangi risikonya. Hal tersebut penting sebab ancaman bencana tidak mengenal waktu sehingga upaya pengurangan risiko bencana perlu terus dilakukan.
Pentingnya Pengurangan Risiko Bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Untuk itu, guna menyikapi sitausi kejadian bencana dan kenyataan luasnya cakupan wilayah yang memiliki potensi ancaman bencana, maka salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melalui upaya pengurangan risiko bencana dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam agenda-agenda kebencanaan.
Pengurangan risiko bencana penting dilakukan sebagai langkah sistematis dan terkoordinir sehingga dampak yang diakibatkan oleh bencana dapat diminimalisir. Tingginya perhatian mengenai upaya pengurangan risiko bencana juga didorong oleh kenyataan meningkatnya kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat bencana karena meningkatnya kerentatan sosial dan ekonomi seiring dengan terjadinya bencana. Lebih jauh dari itu, kondisi masyarakat yang rentan terhadap bencana namun di satu sisi belum terbangunnya manajemen bencana dengan baik, maka dampaknya tentu akan menghambat proses pembangunan.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa melakukan manajemen bencana melalui pengurangan risiko bencana jelas bukan persoalan yang sederhana. Oleh karena itu, paradigma penanggulangan bencana harus diubah dari responsif menjadi preventif, dari sektoral menjadi multi sektor, dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana. Berbagai upaya yang dilakukan untuk pengurangan risiko bencana tentu bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga perlu didukung melalui proses regulasi dan penganggaran hingga di level desa.
Dana Desa Untuk Kebencanaan
Rangkaian peristiwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini harus harus disikapi secara serius. Untuk itu, Kemernterian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah mengeluarkan Permendes PDTT Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Aturan tersebut sekaligus mempertegas bahwa dana desa dapat digunakan untuk kebencanaan. Hal tersebut secara eksplisit disebutkan pada pasal 8 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa: pengadaan, pembangunan, pengembangan serta pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan alam untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana, penanganan bencana alam dan pelestarian lingkungan hidup. Artinya, dengan adanya regulasi tersebut pemerintah desa memiliki otoritas dan wewenang dalam mengalokasikan dana desa untuk bidang kebencanaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.
Adanya regulasi tentang prioritas dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk kebencanaan sudah seyogyanya dilakukan guna meningkatkan ketangguhan masyarakat desa dalam menghadapi ancaman bencana. Sebab selama ini proses penanggulangan bencana terkesan hanya bersifat reaktif. Melalui dana desa, pemerintah desa dapat melakukan penanggulangan bencana mencakup mitigasi bencana sampai dengan tanggap darurat saat terjadi bencana.
Oleh karena itu, guna mendukung terciptanya masyarakat dengan kesadaran mitigasi bencana yang baik, maka agenda-agenda pengurangan risiko bencana harus diintegrasikan ke dalam perencanaan dan penganggaran melalui kebijakan program dana desa. Dengan demikian, para pemangku kepentingan di level desa harus memahami dan merumuskan bahwa pentingnya kebijakan yang berspektif kebencanaan baik dari aspek regulasi maupun anggaran. Artinya bahwa komitmen pemerintah desa juga tentu sangat dibutuhkan dalam melakukan tata kelola anggaran dana desa yang dialokasikan untuk kebencanaan. Hal tersebut merupakan prinsip mendasar yang harus didorong dalam mendukung upaya pengurangan risiko bencana di level desa. Sehingga kedepannya upaya-upaya pengurangan risiko bencana di desa dapat dilakukan secara maksimal.
Written by: Hendra Puji Saputra