Mengawali tulisan yang sederhana ini, penulis ingin mengutip sebuah ungkapan menarik dari Petra Nemcova, seorang korban yang selamat dari tsunami di Thailand tahun 2004. Nemcova yang juga pendiri organisasi untuk kebencanaan Happy Heart Fund pernah menyatakan: “Kita tidak bisa menghentikan bencana, akan tetapi kita dapat mempersenjatai diri dengan ilmu pengetahuan”.
Pernyataan Nemcova tersebut telah memberikan refleksi penting tentang kejadian bencana yang tak mengenal ruang dan waktu. Akan tetapi, melalui kesadaran dan pengetahuan yang baik tentang bencana, sesungguhnya kita dapat mengelola dan mengurangi risiko dari bencana itu sendiri.
Namun, persoalannya apakah pemahaman dan pengetahuan komunal masyarakat kita sudah cukup memadai saat bencana terjadi? Dengan risiko bencana yang sedemikian besar, bagaimana seharusnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bencana dapat dikembangkan? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengenali sejauhmana tindakan dan kemampuan merespons masyarakat ketika terjadi bencana.
Pentingnya Literasi Bencana.
Jejak bencana di masa lalu setidaknya dapat memberi pelajaran berharga. Bila merujuk pada catatan di masa lalu, kejadian bencana sebenarnya merupakan peristiwa yang dapat dipelajari karena siklus kejadiannya selalu berulang-ulang. Namun, harus diakui bahwa kemampuan masyarakat kita untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksikan sejarah bencana di masa lalu sebagai pelajaran penting untuk menghadapi bencana di masa mendatang masih belum terbangun dengan baik. Masalahnya, patut diduga bahwa masih rendahnya literasi bencana telah membuat masyarakat kita gagap dalam menghadapi bencana dan dampak yang ditimbulkannya.
Secara teoritis, literasi bencana diartikan sebagai kemampuan masyarakat membaca tanda-tanda alam, perubahan alam, dan kerusakan alam sehingga terwujud dalam mitigasi bencana. Dalam pengertian yang lain, literasi bencana juga sebenarnya merupakan salah satu prasyarat penting dari proses mitigasi bencana guna mempersiapkan masyarakat yang tangguh bencana. Bila masyarakat memiliki literasi bencana yang baik, maka tingkat kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana dapat dilakukan secara sadar. Hasilnya, masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian bencana.
Masalahnya, karakteristik masyarakat kita selama ini seringkali bertindak setelah dikejutkan oleh kejadian bencana itu sendiri. Ketidaksiapan masyarakat sehingga menyebabkan besarnya dampak akibat bencana telah mengindikasikan literasi bencana masyarakat kita masih belum menggembirakan. Padahal, pemahaman dan pengetahuan tentang bencana sangat ditentukan oleh kebiasaan literasi masyarakat kita.
Data UNESCO tahun 2016 menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Tercatat budaya literasi masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki literasi yang tinggi. Data lainnya, hasil riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menempati peringkat ke-60 dari 61 negara soal literasi. Fakta ini cukup memprihatinkan, berbanding terbalik jika berkaca pada kejadian bencana yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Belum lagi pada kalangan masyarakat tertentu, bencana dimaknai sebagai kehendak yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Pemikiran seperti itu memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, pemaknaan bencana yang sedemikian rupa seringkali membuat masyarakat pasrah dan terkesan meniadakan ikhtiar untuk menyelamatkan diri dari bencana. Pemikiran fatalis seperti itu akan membuat pemahaman akan persoalan kebencanaan tidak pernah utuh dan terselesaikan secara tuntas dalam aras pemikiran masyarakat. Fakta sosiologis tersebut telah menjadi tantangan di tengah kondisi masyarakat yang rentan terhadap bencana.
Seharusnya, dengan membangun konstruksi sosial betapa pentingnya literasi bencana sebagai upaya untuk membentuk kesadaran masyarakat yang mendukung model-model antisipasi dan membangun ketangguhan dalam menghadapi bencana harus menjadi kebutuhan mendesak. Sebab apabila masyarakat tidak disiapkan menghadapi bencana, maka kita akan terus menerus menyaksikan narasi bencana yang cenderung sama, tidak berubah, tidak mau belajar, dan tidak membawa kemajuan dalam pengelolaan risiko bencana.
Lebih jauh, tindakan adaptasi menghadapi bencana perlu dilakukan secara terstruktur yang diawali dengan membangun perspektif mengenai bencana. Perspektif itu harus bersifat transformatif yaitu pemahaman bahwa bencana merupakan fakta yang dialami masyarakat sehingga mewajibkan masyarakat untuk memiliki kemampuan menghadapinya. Dalam konteks ini, literasi bencana tidak hanya diterjemahkan sebatas pada kemampuan masyarakat untuk membaca dan menulis, tetapi lebih jauh dari itu menekankan pada aspek pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang tanda-tanda bencana yang kemudian mampu ditransformasi melalui tindakan yang berorientasi pada upaya-upaya pengurangan risiko bencana.
Belajar dari Jepang
Ragam bentuk bencana yang terjadi selama ini selalu menimbulkan jeritan tangis dan derita luka yang mendalam. Hidup di wilayah yang rentan terhadap bencana, sudah semestinya membuat kita serius untuk belajar pada pengalaman bencana di masa lalu. Bahkan, tak ada salahnya bila masyarakat kita berkaca pada Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil membangun sistem mitigasi bencana yang cukup baik.
Jika dilihat dalam sejarahnya, Jepang memiliki pengalaman kebencanaan yang begitu panjang di masa lalu. Sebagai contoh : pada tahun 1923, Jepang pernah diguncang gempa berskala 7,9 SR dengan korban mencapai 100.000 jiwa. Kemudian di tahun 1995, Jepang mengalami gempa dengan skala 7,3 SR. Berikutnya, pada tahun 2011, Jepang diguncang gempa berkekuatan 9,0 SR yang diikuti tsunami dengan jumlah korban mencapai 19.000 jiwa (m.kbr.id, 2019). Berbagai pengalaman bencana di masa lalu telah mendorong Jepang untuk melakukan studi-studi mendalam terkait gempa dan tsunami.
Hasilnya, Jepang kemudian melakukan mitigasi baik secara struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural dilakukan melalui pembangunan rumah tahan gempa, tanggul pantai, pemanfaatan sistem peringatan gempa dan tsunami di ponsel pintar, dan menggunakan transportasi shinkansen yang dapat berhenti saat terjadi gempa. Secara non-struktural, Jepang menerapkan mitigasi melalui kurikulum kebencanaan di sekolah-sekolah dan memaksimalkan peran media dalam memberitakan informasi ketika bencana terjadi. Menariknya, berbagai upaya mitigasi bencana yang dilakukan oleh Jepang merupakan pelajaran penting dari sejarah bencana di masa lalu.
Selanjutnya, bagaimana dengan konteks masyarakat kita? Nampaknya jejak bencana di masa lalu di masyarakat kita hanya sebatas cerita tanpa makna. Maka, sudah saatnya gerakan literasi bencana harus menjadi salah satu agenda penting guna meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana di masa mendatang.