Bank Dunia telah merilis data yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 35 negara di dunia yang paling rawan bencana. Laporan itu diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Rakornas BNPB di Istana Negara, Rabu (03/03/2021). Hal ini sebetulnya tidak begitu mengagetkan karena Indonesia dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Kenyataan bahwa hidup di wilayah yang rawan bencana memang tidak bisa dihindari, namun risiko dari bencana itu sendiri sesungguhnya dapat kita kelola dan kurangi dampaknya. Masalahnya, bagi sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana nyatanya tidak serta merta membuat mereka sadar dan tanggap atas setiap kejadian bencana. Akhirnya, kita selalu dihadapkan pada persoalan yang sama saat terjadi bencana. Mulai dari jumlah korban jiwa yang begitu besar, kerusakan yang terjadi begitu massif, dan trauma psikologis yang diderita korban bencana begitu mendalam.
Jika ditelisik lebih mendalam, jatuhnya korban jiwa saat terjadi bencana boleh jadi bukan semata-mata karena faktor besarnya bencana itu sendiri, melainkan karena rendahnya pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki masyarakat tentang mitigasi bencana. Bisa dibayangkan, betapa memilukannya bagi masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana tetapi di sisi lain mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, maka kita akan terus menerus menyaksikan narasi bencana yang cenderung sama, tidak berubah, tidak mau belajar, dan tidak membawa kemajuan dalam pengelolaan risiko bencana.
Kelompok Rentan
Salah satu hal penting yang selama ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat dalam setiap kejadian bencana alam adalah masih rendahnya pelibatan kelompok rentan (vurnerable group) dalam mainstreaming pengurangan risiko bencana. Padahal penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya seperti: ibu hamil, anak-anak, dan lansia memiliki risiko kematian, luka-luka dan berbagai cedera tambahan lainnya yang lebih tinggi sebagai akibat tidak dimasukkannya perspektif kelompok rentan dalam berbagai kebijakan, perencanaan, dan program pengurangan risiko bencana.
Sebagai gambaran, selama ini sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem evakuasi bencana alam masih belum aksesibel terhadap keberadaan difabel dan kelompok rentan lainnya. Sistem peringatan dini dan rencana evakuasi bencana yang ada saat ini masih berstandar untuk masyarakat normal. Akibatnya, para difabel menjadi kelompok yang berisiko tinggi saat terjadinya bencana. Dimana kesempatan mereka untuk menyelamatkan diri pada situasi panik sangatlah terbatas karena tidak tersedianya alat yang aksesibel bagi mereka. Belum lagi banyak dari para difabel yang kehilangan alat bantu mereka saat kejadian bencana semakin memperburuk keadaan yang mereka alami.
Secara teoritis, kelompok difabel ini dalam konteks kejadian bencana dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah mereka yang sudah menjadi difabel sebelum terjadinya bencana. Kedua, adalah mereka yang menjadi difabel akibat dari terjadinya bencana (Fuad dalam Saru Arifin, 2008). Kedua kelompok tersebut, memiliki persoalan yang hampir sama dalam situasi bencana, dimana fasilitas yang tersedia di barak pengungsian tidak ramah terhadap keberadaan mereka. Sehingga seringkali para difabel mengalami penderitaan yang lebih berat dibandingkan dengan para korban bencana yang selamat lainnya.
Saat terjadi bencana, situasi menjadi darurat, sementara korban bencana memerlukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat. Begitu pula pada fase respons bencana, para korban seringkali ditempatkan di penampungan sementara yang kadang kondisinya tidak layak untuk para kelompok rentan. Keberadaan sanitasi dan air bersih, struktur bangunan, dan kondisi lingkungan fisik yang tidak memadai jelas menyulitkan para kelompok rentan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Belum lagi kondisi pengungsian yang penuh sesak tanpa fasilitas yang memadai, ditambah rasa trauma dan cuaca buruk membuat mereka rentan terkena penyakit.
Selain itu, persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat distribusi bantuan di tempat pengungsian yang selama ini kurang dapat memberikan akses terhadap keberadaan para kelompok rentan. Dimana proses distribusi bantuan yang tidak merata seringkali menyebabkan bantuan bagi para pengungsi menjadi tumpang tindih. Kondisi semacam itu jelas tidak menguntungkan bagi para kelompok rentan seperti: ibu hamil, lansia, anak-anak, dan termasuk juga difabel. Mereka jelas tersingkirkan karena tidak mampu mengakses bantuan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan.
Oleh karena itu, keberadaan para kelompok rentan termasuk difabel seharusnya menjadi perhatian utama dalam penanganan korban pada situasi bencana. Seringkali yang terjadi selama ini bahwa program-program yang dirancang untuk merespon bencana kurang memperhatikan keberadaan para kelompok rentan. Sehingga, banyak dari mereka yang kemudian termarjinalkan dan terisolasi pada saat terjadinya bencana alam.
Maka dari itu, upaya penanggulangan bencana harus didesain dan sensitif terhadap kelompok rentan. Sebab kelompok ini memerlukan perhatian, perlindungan, dan perlakuan khusus dalam situasi bencana. Untuk mendukung upaya ini, maka proses manajemen bencana perlu didorong secara inklusif. Dimana para kelompok rentan dilibatkan secara aktif sebagai subyek dalam setiap tahapan manajemen bencana mulai dari: pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons dan pemulihan.
Dalam konteks sosiologi bencana, pendekatan yang melibatkan masyarakat secara partisipatif termasuk di dalamnya kelompok rentan merupakan hal esensial dari proses pemberdayaan agar mereka memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan ide-ide dari bawah ke atas. Dengan begitu, mereka dapat bersuara untuk menyampaikan segala bentuk keinginan dan kebutuhannya sehingga dapat didengar dan diakomodir dalam setiap tahapan penanggulangan bencana.
Oleh : Hendra P. Saputra
Staf KONSEPSI NTB