Lombok Barat — Dalam upaya memperkuat ketangguhan komunitas menghadapi risiko bencana banjir, KONSEPSI NTB bersama OXFAM dan Australian Government melalui DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Multipihak untuk Mekanisme Penghentian Aksi Antisipasi Bencana Banjir di Level Desa, Selasa (20/5) di Kantor BMKG Klimatologi NTB, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Improvement Community Anticipatory Action (I CAN ACT), yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari BPBD dan Dinas Sosial di Lombok Barat dan Lombok Timur, PT Pos Indonesia, hingga pemerintah desa dan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) dari lima desa dampingan.
Nasri, selaku Project Koordinator, menegaskan pentingnya mekanisme penghentian Aksi Antisipasi (AA) sebagai bagian dari akuntabilitas program. “Kondisi saat ini menunjukkan indikator untuk aktivasi tahap kedua bantuan tunai tidak terpenuhi. Oleh karena itu, diperlukan Surat Keputusan (SK) dari kepala desa untuk menghentikan AA,” ujarnya. SK tersebut menjadi landasan hukum untuk tidak mendistribusikan dana bantuan tahap dua dan mengalihkan sisa dana ke program peningkatan kapasitas yang lebih relevan.
Dalam sesi pemaparan teknis, BMKG memaparkan bahwa NTB tengah memasuki musim kemarau yang lebih basah dari biasanya. Faktor netralnya kondisi ENSO dan Dipole Mode, serta suhu muka laut yang hangat, menjadi penyebab utama curah hujan yang masih terjadi meski musim kemarau telah dimulai. Prediksi menunjukkan puncak kemarau terjadi pada Juli–Agustus, namun dengan durasi yang lebih pendek dan kemungkinan hujan masih ada di beberapa wilayah.
“Musim kemarau tahun ini dominan kering, namun tetap ada potensi hujan. Ini penting untuk dipahami karena banyak masyarakat menilai musim berdasarkan ada tidaknya hujan,” jelas Dedi dari BMKG.
Masing-masing desa dampingan memaparkan indikator lokal untuk aktivasi dan penghentian AA, yang berbasis pada data cuaca BMKG serta pengamatan lapangan. Desa Taman Ayu, misalnya, mengadopsi indikator pasang naik dan tinggi gelombang untuk mengantisipasi banjir rob. Sementara Desa Dasan Geria dan Belanting mengandalkan curah hujan ekstrem serta kenaikan tinggi muka air sungai sebagai parameter pemicu bantuan.
“Pengalaman menunjukkan bahwa indikator aktivasi tahap dua sangat sulit terpenuhi, padahal risiko tetap ada. Karena itu, ke depan perlu dipertimbangkan pemisahan indikator untuk mempermudah aktivasi bantuan secara bertahap,” ungkap Iqbal dari Desa Obel-Obel.
Hasil rapat menyepakati bahwa musyawarah desa dengan BPD akan segera menetapkan SK penghentian AA sesuai SOP BPBD kabupaten. Dana yang tersisa dari bantuan tunai akan direalokasikan untuk pelatihan dan penguatan kapasitas TSBD di lima desa program.
Upaya ini menjadi bagian penting untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana dengan berbasis data ilmiah dan kearifan lokal.




